Rabu, 09 Juli 2014

Resensi ( Penilaian ) Sebuah Karya


Resensi Film “99 Cahaya di Langit Eropa”

Novelnya yang dikarang oleh putri Amien Rais salah seorang politikus ternama negeri ini yang pernah mendobrak kejenuhan iklim politik diktator rejim Soeharto 15 tahun lalu.
Tak disangka, tak dinyana, putri beliau, Hanum Salsabiela Rais dibantu suaminya Rangga Almahendra adalah penulis novel berbakat. Tulisan Hanum sebagaimana dalam novel “99 Cahaya Langit Eropa” menjadi novel “Orang Indonesia Bertualang Di Eropa” ketiga yang sukses menjadi best seller lalu difilmkan, setelah Laskar Pelangi “Edensor” karya Andrea Hirata yang filmnya juga akan tayang tanggl 19 Desember 2013 lalu Negeri 5 Menara nya A. Fuadi yang filmnya tayang tahun 2012 lalu.


Buku
Dari novel best seller yang inspiratif itulah rasa penasaran saya akan film ini pun membuncah, sehingga bela-belain cari bioskop terdekat dari kantor,….tepat di hari pertama penayangannya di Indonesia.
Oke, kita mulai resensi nya.
Film ini dibuka dengan adegan kota Wina, Austria yang menjadi tempat tinggal pasangan muda Rangga (diperankan oleh Abimana Aryasatya) dan Hanum (diperankan oleh Acha Septriasa) di tahun 2008. Rangga adalah seorang mahasiswa Magister dari Indonesia yang mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah di negerinya Mozart tersebut, dan Hanum yang saat itu adalah reporter Trans TV, mau tak mau meninggalkan pekerjaannya untuk ikut serta mendampingi sang suami kuliah di Eropa.
Suami kuliah, maka istri pun jalan-jalan daripada bengong sendirian di apartemen, apalagi di negeri yang bahasa ibu nya tidak kita pahami.
Yap…..di awal film itu, dikisahkan bahwa Hanum harus mengambil kursus bahasa Jerman yang merupakan bahasa ibu di negara Austria, agar ia dapat berkomunikasi dengan penduduk sekitar selama petualangannya hidup mendampingi suami di sana.
Dari kelas kursus bahasa Jerman inilah, Hanum berkenalan dengan seorang wanita Turki bernama Fatma Pasha yang dalam film ini diperankan oleh (Raline Shah, aktris yang terkenal dengan film “5 cm”) , yang setiap berjalan-jalan dengan Hanum, hampir selalu tak lupa menjemput dari sekolah dan mengajak serta putri kecilnya Ayse (diperankan oleh pendatang cilik yang memukau akting nya, Geccha Qeaghaventa).
Teman-teman Rangga di kampus diperankan juga secara menarik yaitu mahasiswa Muslim dari India bernama Khan (Alex Abbad) seorang Muslim fanatik yang bahkan rela tak lulus ujian demi ikut sholat Jumat, Steffan (Nino Fernandez) seorang agnostik/atheis yang terus mencecar Rangga dengan pertanyaan logika seputar “Apakah Tuhan itu ada?”…..lalu sosok Maarja (Marissa Nasution) yang merupakan seorang gadis cantik Eropa Timur yang “menaruh hati” dengan Rangga tak peduli bahwa Rangga tealh beristri.
Menarik di sini adalah akting Alex Abbad yang sering tampil sebagai “bajingan bejat” dalam film-film sebelumnya, terutama film Merantau nya Iko Uwais yang membuat namanya go international, pun dikenal sebagai VJ MTV yang jahil di akhir tahun 90-an. Dalm film ini tampil begitu “dingin”, begitu tenang, dan terlihat mampu memerankan seorang Muslim India yang fanatik,….kebetulan secara fisik dia memang keturunan Timur Tengah….hehehe…no mean to be racist dude.
Sementara dari teman-teamnnya Hanum, selain Fatma di atas, ada teman-teman Turki nya yang juga tinggal di Osterreich, yang di dalam novel sebenarnya adalah teman-teman pengajian Fatma, yaitu Latife dan Ezra.
Menarik tokoh Ezra dalam film ini diperankan oleh Hanum Rais sendiri. Dan aktingya pun lumayan, sampai-sampai saya bertanya-tanya kok, gak sekalian saja si Hanum memerankan dirinya sendiri?
Wajahnya pun belum terlalu jauh berbeda dengan Hanum tahun 2008 sebagaimana di novel ini. Mungkin Rangga asli keberatan jika Hanum asli harus memerankan adegan “kecup kening” yang kerap dilakukan oleh Abimana dan Acha dalam film ini….hehehe….yo wis, koe bojo ne…karep mu mas…
Ketika pasangan ini bertualang ke Paris, mereka juga bertemu seorang tokoh menarik dan simpatik yaitu Marion Latimer yang diperankan oleh aktris Dewi Sandra dengan lumayan berkarakter.
Dan jika Raline saya rasa secara  fisik  “kurang bule” untuk memerankan wanita Turki, maka Dewi saya rasa tampang nya “cukup bule” untuk memerankan seorang mualaf Prancis.
Tak kalah menarik, kehadiran cameo (tokoh yang bermain film memerankan dirinya sendiri), Fatin Shidqia bintang X-Factor yang dalam film ini, diceritakan sedangshooting video clip terbarunya.
Dari segi gambar, film ini cukup baik dalam mengambil setting keindahan kota-kota Wina dan Paris. Bahkan adegan Rangga adzan Maghrib di atas menara Eiffel, dengan background kota Paris di senja yang matahrinya masih terang benderang, cukup menyentuh.
Tapi dari segi cerita….saya agak sedikit kecewa dengan Sutradara Guntur Soeharjanto.
Ia seperti memperlakukan semua penonton film ini, adalah orang seperti saya, yang telah tamat baca novel “99 Cahaya di Langit Eropa”
Sehingga, beberapa scene diambil dengan kurang mendetil.
Contoh:
1) Adegan dua warga bule Austria menceritakan asal muasal Roti Croissant yang mereka makan
Dalam novel diceritakan dengan jelas, si bule bercerita kepada temannya, bahwa penamaan roti Croissant adalah berdasarkan sejarah kemenangan pasukan Eropa dalam mengalahkan invasi pasukan Muslim Kesultanan Ottoman Turki. Sedemikian dendamnya masyarakat Eropa yang non Muslim, sehingga mereka membuat roti berbentuk bulan sabit untuk dimakan, bukan untuk dihormati.
Bulan Sabit adalah lambang negara Turki, yang awalnya sebelum jaman Attaturk malah merupakan simbol kekaisaran Islam Eropa di bawah kekuasaan Turki. Dan memang salah satu simbol agama Islam pula bersama bintang. Attaturk menghilangkan lambang bintang nya dalam bendera Turki saat ini, karena ia anti atribut Islam.
Dalam film hanya diceritakan bahwa roti Croissant adalah berasal dari lambang bendera Turki. Lah…saya jamin 80% warga Indonesia yang menonton film ini mungkin belum terlalu hafal dengan bendera Turki, bisa saja salah menerjemahkan dialog dalam film itu…..sehingga mereka jika melihat adegan ini bisa bertanya, “Memang nya lambang bendera Turki berbentuk Roti ya?” atau berbentu Roti Croissant ya?….padahal yang benar bentuk bulan sabit nya yang harus dijelaskan, bukan langsung dari roti dikaitkan dengan bendera Turki.
Dalam film tiba-tiba saja, Fatma menahan Hanum untuk membalas secara emosional omongan mereka yang dianggap menghina Islam….menghina dari mananya ya?…kata sepasang penonton yang duduk di sebelah saya.
Wong cuma ngomong bendera Turki, kok langsung dikaitkan dengan menghina Islam?
2) Berkali-kali dalam film ini disebut-sebut nama “Kara Mustapha Pasha”. Tapi tidak pernah benar-benar dijelaskan siapa dia sebenarnya, kecuali hanya sedikit di bagian awal film.
Bahkan ada sebuah adegan Hanum, Fatma dan Ayse sedang berkunjung ke Museum Kota Wina, tiba-tiba Fatma terlihat sedih memandangi lukisan Kara Mustapha. Tapi di film hanya dijelaskan bahwa Fatma sedih karena Kara adalah nenek moyang nya. Namun alih-alih menjadi pahlawan Turki, ia malah membawa aib bagi bangsa Turki. Kenapa?
Tidak dijelaskan secara detil dalam film ini, walau di sebelah lukisannya terlihat jelas lukisan dinding besar menggambarkan pertempuran pasukan Kara melawan pasukan Austro-Hongaria-Prusia. Namun penonton seperti disuruh menerjemahkan sendiri apa arti lukisan tersebut. Saya juga tahunya jika itu lukisan perang era Kara Mustapha, karena telah baca novel nya, sulit untuk merejemahkan sendiri dari film, karena gambarnya hanya sekilas.
Tapi tidak pernah dijelaskan siapa dia, kecuali bahwa ia adalah seorang Panglima Perang Turki yang pernah bertempur di Austria, lalu mati dalam keadaan menyesal. Menyesal kenapa?
Dalam novel diceritakan, bahwa penyerangan Kara Mustapha sekitar 400 tahun lalu ke kota Wina, berakhir dengan kegagalan, karena ia telah meremehkan pasukan musuhnya, salah strategi, dan akhirnya pasukannya kalah. Sudahlah kalah perang, bukannya dilindungi oleh Sultan Turki, tapi ia malah akhirnya dihukum mati di Beograd yang sekarang menjadi ibukota negara Serbia.
Terus terang, jika kita terbiasa dengan film-filmnya Hanung Bramantyo, Riri Riza, atau sutradara tahun 80-an yang pernah membuat film-film kisah orang Indonesia di Eropa seperti Arifin C. Noer atau Syumandjaya, kualitas cerita Guntur masih kalah jauh.
Dan jangan kecewa, jika pada akhir film ini, ternyata pasangan Rangga dan Hanum belum sampai ke Cordoba dan Istanbul yang merupakan bagian akhir dari novel nya. Juga keduanya belum sampai bertemu lagi dengan Fatma taoi filmnya telah usai.
Karena ternyata, eh ternyata….judi itu haraaaam…(hehehe ini sih nyanyian Bang Haji Rhoma Irama)
Ternyata scene yang tidak ada di atas itu semua, baru akan tampil dalam lanjutan film “99 Cahaya di Langit Eropa” yang baru akan tampil di bioskop tahun 2014 mendatang….hahahaha.
Oiya ada sedikit kaitan menarik antara film “99 Cahaya di Langit Eropa” dengan film “Laskar Pelangi 3: Edensor”.
Ketiganya sama-sama ada setting di kota Paris dalam waktu yang cukup lama, dan detil adegan yang bermain di sekitar icon nya kota Paris, yaitu Menara Eiffel, Gerbang Arc de Triomphe, Museum Louvre…..yang kurang dari film “99 Cahaya di Langit Eropa” dibandingkan film “Laskar Pelangi 3: Edensor” adalah tidak adanya adegan kuliah di Universitas Sorbonne Paris yang terkenal sebagai “Harvard” nya Eropa itu.
Satu lagi kaitannya adalah penampilan aktor Abimana Aryasatya yang dalam “99 Cahaya di Langit Eropa” memerankan tokoh pendamping Hanum yaitu Rangga, maka dalam film “Laskar Pelangi 3: Edensor” ia memerankan Arai, temannya Ikal.
Sang aktor sedang ketiban rejeki nomplok, dalam setahun memerankan dua film Indonesia yang mengambil setting keliling Eropa, dan salah satunya di kota Paris yang melegenda itu.
Secara keseluruhan, jika Anda bukan seorang penikmat film yang senang detil adegan, karena takut detil bisa bikin pusing kepala, maka film “99 Cahaya di Langit Eropa” ini sudah cukup menghibur.
Dan, cukup menyampaikan pesan mengenai menyebarkan citra baik Islam dengan tetap bertoleransi dengan agama lain, walau menurut saya masih kurang menyentuh jika dibandingkan film Ayat-Ayat Cinta.

Refrensi :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar