Novelnya yang dikarang oleh putri Amien Rais salah
seorang politikus ternama negeri ini yang pernah mendobrak kejenuhan iklim
politik diktator rejim Soeharto 15 tahun lalu.
Buku
Dari novel best seller yang inspiratif itulah rasa
penasaran saya akan film ini pun membuncah, sehingga bela-belain cari bioskop
terdekat dari kantor,….tepat di hari pertama penayangannya di Indonesia.
Oke, kita mulai resensi nya.
Film ini dibuka dengan adegan kota Wina, Austria
yang menjadi tempat tinggal pasangan muda Rangga (diperankan oleh Abimana
Aryasatya) dan Hanum (diperankan oleh Acha Septriasa) di tahun 2008. Rangga
adalah seorang mahasiswa Magister dari Indonesia yang mendapatkan beasiswa
untuk melanjutkan kuliah di negerinya Mozart tersebut, dan Hanum yang saat itu
adalah reporter Trans TV, mau tak mau meninggalkan pekerjaannya untuk ikut
serta mendampingi sang suami kuliah di Eropa.
Suami kuliah, maka istri pun jalan-jalan daripada bengong sendirian
di apartemen, apalagi di negeri yang bahasa ibu nya tidak kita pahami.
Yap…..di awal film itu, dikisahkan bahwa Hanum harus
mengambil kursus bahasa Jerman yang merupakan bahasa ibu di negara Austria,
agar ia dapat berkomunikasi dengan penduduk sekitar selama petualangannya hidup
mendampingi suami di sana.
Dari kelas kursus bahasa Jerman inilah, Hanum
berkenalan dengan seorang wanita Turki bernama Fatma Pasha yang dalam film ini
diperankan oleh (Raline Shah, aktris yang terkenal dengan film “5 cm”) , yang
setiap berjalan-jalan dengan Hanum, hampir selalu tak lupa menjemput dari
sekolah dan mengajak serta putri kecilnya Ayse (diperankan oleh pendatang cilik
yang memukau akting nya, Geccha Qeaghaventa).
Teman-teman Rangga di kampus diperankan juga secara
menarik yaitu mahasiswa Muslim dari India bernama Khan (Alex Abbad) seorang Muslim
fanatik yang bahkan rela tak lulus ujian demi ikut sholat Jumat, Steffan (Nino
Fernandez) seorang agnostik/atheis yang terus mencecar Rangga dengan pertanyaan
logika seputar “Apakah Tuhan itu ada?”…..lalu sosok Maarja (Marissa Nasution)
yang merupakan seorang gadis cantik Eropa Timur yang “menaruh hati” dengan
Rangga tak peduli bahwa Rangga tealh beristri.
Menarik di sini adalah akting Alex Abbad yang sering
tampil sebagai “bajingan bejat” dalam film-film sebelumnya, terutama film
Merantau nya Iko Uwais yang membuat namanya go international, pun dikenal
sebagai VJ MTV yang jahil di akhir tahun 90-an. Dalm film ini tampil begitu
“dingin”, begitu tenang, dan terlihat mampu memerankan seorang Muslim India
yang fanatik,….kebetulan secara fisik dia memang keturunan Timur
Tengah….hehehe…no mean to be racist dude.
Sementara dari teman-teamnnya Hanum, selain Fatma di
atas, ada teman-teman Turki nya yang juga tinggal di Osterreich, yang di
dalam novel sebenarnya adalah teman-teman pengajian Fatma, yaitu Latife dan
Ezra.
Menarik tokoh Ezra dalam film ini diperankan oleh
Hanum Rais sendiri. Dan aktingya pun lumayan, sampai-sampai saya bertanya-tanya
kok, gak sekalian saja si Hanum memerankan dirinya sendiri?
Wajahnya pun belum terlalu jauh berbeda dengan Hanum
tahun 2008 sebagaimana di novel ini. Mungkin Rangga asli keberatan jika Hanum
asli harus memerankan adegan “kecup kening” yang kerap dilakukan oleh Abimana
dan Acha dalam film ini….hehehe….yo wis, koe bojo ne…karep mu mas…
Ketika pasangan ini bertualang ke Paris, mereka juga
bertemu seorang tokoh menarik dan simpatik yaitu Marion Latimer yang diperankan
oleh aktris Dewi Sandra dengan lumayan berkarakter.
Dan jika Raline saya rasa secara fisik
“kurang bule” untuk memerankan wanita Turki, maka Dewi saya rasa tampang nya
“cukup bule” untuk memerankan seorang mualaf Prancis.
Tak kalah menarik, kehadiran cameo (tokoh
yang bermain film memerankan dirinya sendiri), Fatin Shidqia bintang X-Factor
yang dalam film ini, diceritakan sedangshooting video clip terbarunya.
Dari segi gambar, film ini cukup baik dalam
mengambil setting keindahan kota-kota Wina dan Paris. Bahkan adegan
Rangga adzan Maghrib di atas menara Eiffel, dengan background kota Paris di
senja yang matahrinya masih terang benderang, cukup menyentuh.
Tapi dari segi cerita….saya agak sedikit kecewa
dengan Sutradara Guntur Soeharjanto.
Ia seperti memperlakukan semua penonton film ini, adalah
orang seperti saya, yang telah tamat baca novel “99 Cahaya di Langit Eropa”
Sehingga, beberapa scene diambil dengan
kurang mendetil.
Contoh:
1) Adegan dua warga bule Austria menceritakan asal
muasal Roti Croissant yang mereka makan
Dalam novel diceritakan dengan jelas, si bule
bercerita kepada temannya, bahwa penamaan roti Croissant adalah berdasarkan
sejarah kemenangan pasukan Eropa dalam mengalahkan invasi pasukan Muslim
Kesultanan Ottoman Turki. Sedemikian dendamnya masyarakat Eropa yang non Muslim,
sehingga mereka membuat roti berbentuk bulan sabit untuk dimakan, bukan untuk
dihormati.
Bulan Sabit adalah lambang negara Turki, yang
awalnya sebelum jaman Attaturk malah merupakan simbol kekaisaran Islam Eropa di
bawah kekuasaan Turki. Dan memang salah satu simbol agama Islam pula bersama
bintang. Attaturk menghilangkan lambang bintang nya dalam bendera Turki saat
ini, karena ia anti atribut Islam.
Dalam film hanya diceritakan bahwa roti Croissant
adalah berasal dari lambang bendera Turki. Lah…saya jamin 80% warga Indonesia
yang menonton film ini mungkin belum terlalu hafal dengan bendera Turki, bisa
saja salah menerjemahkan dialog dalam film itu…..sehingga mereka jika melihat
adegan ini bisa bertanya, “Memang nya lambang bendera Turki berbentuk Roti ya?”
atau berbentu Roti Croissant ya?….padahal yang benar bentuk bulan sabit nya
yang harus dijelaskan, bukan langsung dari roti dikaitkan dengan bendera Turki.
Dalam film tiba-tiba saja, Fatma menahan Hanum untuk
membalas secara emosional omongan mereka yang dianggap menghina Islam….menghina
dari mananya ya?…kata sepasang penonton yang duduk di sebelah saya.
Wong cuma ngomong bendera Turki, kok langsung
dikaitkan dengan menghina Islam?
2) Berkali-kali dalam film ini disebut-sebut nama
“Kara Mustapha Pasha”. Tapi tidak pernah benar-benar dijelaskan siapa dia
sebenarnya, kecuali hanya sedikit di bagian awal film.
Bahkan ada sebuah adegan Hanum, Fatma dan Ayse
sedang berkunjung ke Museum Kota Wina, tiba-tiba Fatma terlihat sedih
memandangi lukisan Kara Mustapha. Tapi di film hanya dijelaskan bahwa Fatma
sedih karena Kara adalah nenek moyang nya. Namun alih-alih menjadi pahlawan
Turki, ia malah membawa aib bagi bangsa Turki. Kenapa?
Tidak dijelaskan secara detil dalam film ini, walau
di sebelah lukisannya terlihat jelas lukisan dinding besar menggambarkan
pertempuran pasukan Kara melawan pasukan Austro-Hongaria-Prusia. Namun penonton
seperti disuruh menerjemahkan sendiri apa arti lukisan tersebut. Saya juga
tahunya jika itu lukisan perang era Kara Mustapha, karena telah baca novel nya,
sulit untuk merejemahkan sendiri dari film, karena gambarnya hanya sekilas.
Tapi tidak pernah dijelaskan siapa dia, kecuali
bahwa ia adalah seorang Panglima Perang Turki yang pernah bertempur di Austria,
lalu mati dalam keadaan menyesal. Menyesal kenapa?
Dalam novel diceritakan, bahwa penyerangan Kara
Mustapha sekitar 400 tahun lalu ke kota Wina, berakhir dengan kegagalan, karena
ia telah meremehkan pasukan musuhnya, salah strategi, dan akhirnya pasukannya
kalah. Sudahlah kalah perang, bukannya dilindungi oleh Sultan Turki, tapi ia
malah akhirnya dihukum mati di Beograd yang sekarang menjadi ibukota negara
Serbia.
Terus terang, jika kita terbiasa dengan film-filmnya
Hanung Bramantyo, Riri Riza, atau sutradara tahun 80-an yang pernah membuat
film-film kisah orang Indonesia di Eropa seperti Arifin C. Noer atau
Syumandjaya, kualitas cerita Guntur masih kalah jauh.
Dan jangan kecewa, jika pada akhir film ini,
ternyata pasangan Rangga dan Hanum belum sampai ke Cordoba dan Istanbul yang
merupakan bagian akhir dari novel nya. Juga keduanya belum sampai bertemu lagi
dengan Fatma taoi filmnya telah usai.
Karena ternyata, eh ternyata….judi itu
haraaaam…(hehehe ini sih nyanyian Bang Haji Rhoma Irama)
Ternyata scene yang tidak ada di atas itu
semua, baru akan tampil dalam lanjutan film “99 Cahaya di Langit Eropa” yang
baru akan tampil di bioskop tahun 2014 mendatang….hahahaha.
Oiya ada sedikit kaitan menarik antara film “99
Cahaya di Langit Eropa” dengan film “Laskar Pelangi 3: Edensor”.
Ketiganya sama-sama ada setting di kota
Paris dalam waktu yang cukup lama, dan detil adegan yang bermain di sekitar icon nya
kota Paris, yaitu Menara Eiffel, Gerbang Arc de Triomphe, Museum Louvre…..yang
kurang dari film “99 Cahaya di Langit Eropa” dibandingkan film “Laskar Pelangi
3: Edensor” adalah tidak adanya adegan kuliah di Universitas Sorbonne Paris
yang terkenal sebagai “Harvard” nya Eropa itu.
Satu lagi kaitannya adalah penampilan aktor Abimana
Aryasatya yang dalam “99 Cahaya di Langit Eropa” memerankan tokoh pendamping
Hanum yaitu Rangga, maka dalam film “Laskar Pelangi 3: Edensor” ia memerankan
Arai, temannya Ikal.
Sang aktor sedang ketiban rejeki nomplok, dalam
setahun memerankan dua film Indonesia yang mengambil setting keliling Eropa,
dan salah satunya di kota Paris yang melegenda itu.
Secara keseluruhan, jika Anda bukan seorang penikmat
film yang senang detil adegan, karena takut detil bisa bikin pusing kepala,
maka film “99 Cahaya di Langit Eropa” ini sudah cukup menghibur.
Dan, cukup menyampaikan pesan mengenai menyebarkan
citra baik Islam dengan tetap bertoleransi dengan agama lain, walau menurut
saya masih kurang menyentuh jika dibandingkan film Ayat-Ayat Cinta.
Refrensi :